Wednesday, August 12, 2009

STROKE : KAKI KESEMUTAN & SERING GELISAH


BUKAN GEJALA STROKE

Bell’s palsy pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan salah satu syaraf wajah (mononeuropati) yakni syaraf ke-7. Kelumpuhan ini murni disebabkan jepitan pada syaraf ke-7, bukan dari penyebab lain seperti pembuluh darah pecah atau tersumbat.

Berbeda dengan stroke, Bell’s palsy hanya menyebabkan kelumpuhan pada separuh wajah. Bukan kelumpuhan separuh bagian badan. Kelumpuhan ini terjadi akibat adanya himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7 sehingga tak bisa menyampaikan impuls dari pusat syaraf pada batang otak.

Syaraf yang bekerja pada wajah sebenarnya ada 12 dengan pusat pada batang otak. Masing-masing memiliki fungsi berbeda. Misalkan, syaraf 1 untuk hidung, syaraf 2 untuk penglihatan, syaraf 3-4-6 untuk gerakan bola mata, syaraf 5 untuk merasakan sentuhan dan syaraf 7 untuk menggerakkan otot wajah.

Syaraf ke-7 memiliki keistimewaan, terdapat serabut panjang dari dalam tempurung kepala keluar melalui kanal di bawah telinga menuju sisi wajah. Panjangnya serabut syaraf ke-7 ini menyebabkannya rentan terjepit atau tertekan. Bila terjadi gangguan, akan menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah sesisi.

Sejumlah keluhan Bell’s palsy juga disertai sakit kepala tak spesifik. Umumnya Bell’s palsy tak disertai keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf perasa di wajah dipengaruhi syaraf 5, bukan 7. Namun, karena terjadi kekakuan pada otot wajah, penderitanya merasa sedikit tebal pada kulit wajahnya.

Angin Bukan Penyebab
Banyak asumsi dikaitkan dengan Bell’s palsy. Beberapa pendapat di masa lalu mempercayai, Bell’s palsy disebabkan angin yang menyusup ke daerah belakang telinga dan mengganggu syaraf ke-7.

Ada pula yang berpendapat, kondisi ini diakibatkan serangan virus cytomegalovirus, atau herpes. Kenyataannya, tanpa bepergian atau terkena angin, maupun mendapat serangan virus sekalipun, seseorang tetap bisa terserang Bell’s palsy.

Pada wanita hamil, saat kelelahan, orang dengan gangguan auto imun atau orang dengan diabetes juga rentan terserang Bell’s palsy. Rocksy lebih sependapat bila penyebab Bell’s palsy merupakan idiopati (tak bisa dijelaskan).

Namun, Rocksy juga tak menyalahkan bila beberapa orang menganggap gangguan ini terkait dengan aktivitas malam, berkendara tanpa helm full face, menggunakan air conditioner, dan lainnya.

“Beberapa teori lama, memang menyebutkan angin yang menyusup ke belakang telinga sering jadi penyebab Bell’s palsy. Sebenarnya angin hanya membawa virus. Dan virus ini bertanggung jawab atas terjadinya pembengkakan penyebab Bell’s palsy,” paparnya.

Sembuh Sendiri
Menghadapi wajah yang mencong tiba-tiba akibat Bell’s palsy sebaiknya jangan panik. Menurut Rocksy, Bell’s palsy bisa sembuh hingga 100 persen dan tak meninggalkan kecacatan. Bahkan 80 persen serangan Bell’s palsy akan sembuh sendiri dalam waktu 4 sampai 7 hari.

Asalkan ditangani tepat dan tak terlambat, bisa sembuh sempurna. Tepat artinya ditangani kurang dari 24 jam setelah serangan (golden period). Dan tidak dilakukan pengobatan alternatif atau tindakan tanpa pertimbangan medis. “Bila terlambat atau lebih dari 24 jam, obat-obatan yang digunakan jadi kurang maksimal,” ungkap Rocksy.

Namun, yang terpenting lagi penderita Bell’s palsy sebaiknya beristirahat atau mengurangi aktivitas wajah selama beberapa hari setelah terkena serangan. Dan segera berkonsultasi ke dokter syaraf selama masih dalam golden period.

Bila pengobatan dengan obat anti inflamasi atau anti-viral tak menunjukkan hasil, dan setelah dilakukan MRI tampak adanya penekanan pada syaraf ke-7, pilihan akhir yang diambil dokter adalah tindakan operasi dekompresi atau pembebasan tekanan.

Namun, sekali lagi, ini pilihan terakhir yang jarang sekali diambil. Setelah lewat fase akut 3-4 hari, barulah bisa dimulai latihan fisioterapi di depan kaca atau mengunyah permen karet.

Sebaiknya fisioterapi tak terburu-buru dilakukan, karena memicu terjadinya nerve sprouting atau syaraf tak kembali sempurna, atau tumbuh melenceng. Nerve sprouting bisa menyebabkan timbulnya gerakan tak terkontrol yang menyertai maksud gerakan pada wajah. Misalnya, kedutan di wajah.

Pada penderita diabetes, kemungkinan untuk sembuh akan berbeda dengan orang tanpa diabetes. Rocksy menerangkan, penderita diabetes yang terserang bell’s palsy akan sembuh sekitar 60 persen saja, karena kemampuan penyembuhannya relatif tak sebaik orang tanpa diabetes. Biasanya wajahnya masih akan terlihat sedikit mencong.
Selain bell’s palsy, ada juga gangguan syaraf yang dapat tiba-tiba menyerang, terutama di saat seseorang akan berangkat tidur. Ia akan mengalami rasa sangat tak nyaman pada kakinya. Gejala ini biasa disebut restless legs syndrome (RLS) atau sindroma kaki gelisah.

“RSL bisa terjadi pada segala usia, tapi lebih sering menyerang orang berusia 40 tahun ke atas,” kata Dr. Rimawati Tedjasukmana, Sp.S. Biasanya, gerakan kaki terjadi spontan, dan tak bisa dicegah layaknya orang sedang “pencak silat”.

Gejala yang timbul pun beragam, dari rasa tak enak yang sulit dijelaskan, kaki terasa panas seperti terbakar, kesemutan, dan lainnya. Penderita akan merasa lebih nyaman setelah kaki digerak-gerakkan atau berjalan.

Gejala RLS biasanya lebih sering muncul di malam hari, terutama setiap kali mau tidur. “Akhirnya, keluhan yang muncul, si penderita tak bisa tidur (insomnia), baik susah memulai tidur maupun sulit mempertahankan tidur.”

Meskipun akhirnya bisa terlelap, seringkali muncul gejala ikutan, yaitu periodic limb movement disorder (PLMD) atau gerakan kaki yang muncul di saat tidur. Gerakan ini juga spontan. Meskipun hanya gerakan kecil, tapi cukup mengganggu dan membuat penderitanya terbangun.

Penyebabnya pun belum diketahui. Sebagai catatan, tak semua penderita RSL mengalami PLMD dan sebaliknya, atau keduanya. RLS biasanya bersifat periodik. Bisa timbul beberapa lama, lalu hilang dan timbul lagi. RLS terjadi akibat adanya kekurangan neurotramsmitter, zat kimia di otak yang bernama dophamin.

Yang terganggu adalah saraf tepi. Fungsi dophamin umumnya untuk mengatur gerakan. Contohnya penderita penyakit Parkinson yang mengalami tremor atau susah berjalan. “Itu karena mereka kekurangan dophamin.” Pemberian dophamin bisa juga menjadi diagnosa RLS. Bila setelah diberi dophamin sembuh, berarti memang RLS.

Meski penyebabnya belum diketahui secara pasti, sejumlah kasus dihubungkan dengan diabetes dan gagal ginjal. Beberapa lainnya juga dihubungkan dengan kurangan zat besi. Zat besi ini merupakan pembentuk dophamin. “Di luar itu, RLS bisa juga terjadi pada orang yang tak punya riwayat penyakit diabetes atau gagal ginjal,” lanjut Rimawati.

Pengobatan RLS sebetulnya juga sangat mudah, yakni dengan mengonsumsi obat pengganti dophamin. RLS juga bisa sembuh dengan sendirinya. “Banyak orang, bahkan dokter, yang belum tahu RLS. Akhirnya diberi obat macam-macam. Dan karena kebanyakan keluhan yang datang adalah insomnia, lalu yang diberikan adalah obat tidur, jadi tak menolong sama sekali,” lanjut Rimawati.

Pengobatan RLS bisa sangat mengganggu penderita. Contoh ekstremnya, penderita RLS selama 3 bulan tak bisa tidur. “Bayangkan, tak tidur selama 3 bulan. Kualitas hidupnya pasti akan turun.”

Jika RLS terjadi akibat adanya riwayat penyakit diabetes atau gagal ginjal, selain RLS-nya, penyakitnya pun harus disembuhkan. Begitupun jika kekurangan zat besi. “Harus ditambah konsumsi makanan dan suplemen untuk menambah zat besinya,” saran Rimawati.

Sementara untuk mengurangi gejala, pijatan dan berendam di air hangat bisa membantu. Selain orang dewasa, RLS juga ternyata bisa menyerang anak-anak. Gejalanya sama, penyebabnya pun belum ketahuan.

Hanya saja, RLS pada anak-anak biasanya bersifat familial. “Artinya, di dalam keluarganya bukan hanya anak itu yang menderita. Saudaranya, orang tuanya, atau kakeknya pun menderita.”

No comments:

Post a Comment